Selasa, 16 Juni 2009

Kebijakan Pemerintah Provinsi DIY di Bidang Kebudayaan

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA










Frame1



 


Frame2























VISI
KOTA YOGYAKARTA


Terwujudnya
Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata
yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah
lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu
Hayuning Bawana


 






MISI
KOTA YOGYAKARTA



  1. Menjadikan
    dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber daya
    manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta
    kompetitif dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas.


  2. Menjadikan
    dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah
    dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang
    berbudaya.


  3. Menjadikan
    dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak pertumbuhan
    dan pelayanan jasa yang prima  untuk wilayah Propinsi Daerah
    Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .


  4. Menjadikan
    dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian
    lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.


  5. Menjadikan
    dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap
    kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan
    beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat
    persatuan dan kesatuan.















Frame3






Frame4



LAMBANG
KOTA YOGYAKARTA



























































































































Dasar
Hukum



 



Ketetapan
DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja
Yogyakarta



Makna
Lambang



1.



a.



Perbandingan
ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan
Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)



 



b.



Warna
Hitam : Simbol Keabadian



 



 



Warna
Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran



 



 



Warna
Putih : Simbol Kesucian



 



 



Warna
Merah : Simbol Keberanian



 



 



Warna
Hijau : Simbol Kemakmuran



2.



Mangayu
Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat



3.



a.



Bintang
Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha
dibidang kemakmuran



 



b.



Padi
dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan
sandang



4.



Perisai
: Lambang Pertahanan



5.



Tugu
: Ciri khas Kota Yogyakarta



6.



a.



Dua
sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang



 



b.



Gunungan
: Lambang kebudayaan



 



 



-



Beringin
Kurung : Lambang Kerakyatan



 



 



-



Banteng
: Lambang semangat keberanian



 



 



-



Keris
: Lambang perjuangan



7.



Terdapat
dua sengkala



 



a.



Gunaning
Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan
pemakaian Lambang Kota Yogyakarta



 



b.



Warna
Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884



Frame5







 


Frame6








 






Kamis, 04 Juni 2009

BEDHAYA "TUNJUNG ANOM"

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Jumlah Penari
9 (sembilan ) orang putri
Komposisi

0 0
6 8
0 0 0 0 0
1 2 3 4 5
0 0
7 9

Nama Posisi Penari
1.Endhel Pajeg
2.Batak
3.Jangga
4.Dhadha
5.Bunthil
6.Apit Ngajeng
7.Apit Wingking
8.Endhel Wedalan Ngajeng
9.Endhel wedalan Wingking
Property
Pistol
Sekilas Cerita
Mengisahkan tentang Prabu Harjuna Sosrobahu raja negara Maespati yang melamar Dewi Citrawati puteri raja negara Manggada . Sumantri diutus untuk melamarkan dan berhasil memboyong Dewi Citrawati, setelah dapat menaklukan yang juga melamar sang Dewi .
Setelah berhasil Sumantri ingin mencoba kesaktian Prabu Harjuna Sasrabahu , akan tetapi dapat ditaklukan oleh sang Prabu. Akhirnya Dewi Citrawati tetap menjadi isteri Prabu Harjuna Sosrobahu dan Sumantri dijadikan patih negara Maespati
Tata Pakaian
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata Pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas :
- Hiasan kepala dengan jamang
- Telinga memakai Ron
- Cundhuk menthul
- Cundhuk jungkat
- Risolin
- Pelik
- Ceplok jebehan
- Kondhe dengan bentuk gelung bokor
- Godhegan
- Kalung susun
- Kelat Bahu
- Gelang kana 1 (satu) pasang
- Subang 1 (satu) pasang
- Cincin 1 (satu) pasang
- Baju tanpa lengan dari bahan beludru
- Sondher (sampur ) Cindhe
- Slepe berwarna emas
- Keris bentuk branggah, dengan oncen
- Kain batik biasanya bercorak parang rusak
Tata Iringan
- Gending Ladrang atau sabrangan
- Kendhangan Soroyuda
- Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan
Keterangan
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta.

BEDHAYA "SINOM"

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Tahun
1921-1939
Jumlah Penari
9 (sembilan ) orang putri
Komposisi

0 0
6 8
0 0 0 0 0
1 2 3 4 5
0 0
7 9

Nama Posisi Penari
1.Endhel Pajeg
2.Batak
3.Jangga
4.Dhadha
5.Bunthil
6.Apit Ngajeng
7.Apit Wingking
8.Endhel Wedalan Ngajeng
9.Endhel Wedalan Wingking
Property
Dhuwung ( Keris )
Sekilas Cerita
Mengisahkan Dewi Widaninggar dan Dewi Widaningrum yang akan membalas dendam atas kematian Dewi Adaninggar oleh Dewi Kelaswara , akan tetapi mereka dapat dikalahkan oleh senopati negara Koparman.
Tata Pakaian
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas :
- Hiasan kepala dengan jamang
- Telinga memakai Ron
- Cundhuk menthul
- Cundhuk jungkat
- Risolin
- Pelik
- Ceplok jebehan
- Kondhe dengan bentuk gelung bokor
- Godhegan
- Kalung susun
- Kelat Bahu
- Gelang kana 1 (satu) pasang
- Subang 1 (satu) pasang
- Cincin 1 (satu) pasang
- Baju tanpa lengan dari bahan beludru
- Sondher (sampur ) Cindhe
- Slepe berwarna emas
- Keris bentuk branggah, dengan oncen
- Kain batik biasanya bercorak parang rusak
Tata Iringan
- Gending Ladrang atau sabrangan
- Kendhangan Soroyuda
- Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan
Keterangan
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta.

BEDHAYA "KUWUNG-KUWUNG"

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono VII
Jumlah Penari
9 (sembilan ) orang putri
Komposisi

0 0
6 8
0 0 0 0 0
1 2 3 4 5
0 0
7 9

Nama Posisi Penari
1.Endhel Pajeg
2.Batak
3.Jangga
4.Dhadha
5.Bunthil
6.Apit Ngajeng
7.Apit Wingking
8.Endhel Wedalan Ngajeng
9.Endhel Wedalan Wingking
Property
Dhuwung ( keris )
Sekilas Cerita
Pada waktu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menerima Bintang kehormatan dari pemerintah Belanda
Tata Pakaian
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas :
- Hiasan kepala dengan jamang
- Telinga memakai Ron
- Cundhuk menthul
- Cundhuk jungkat
- Risolin
- Pelik
- Ceplok jebehan
- Kondhe dengan bentuk gelung bokor
- Godhegan
- Kalung susun
- Kelat Bahu
- Gelang kana 1 (satu) pasang
- Subang 1 (satu) pasang
- Cincin 1 (satu) pasang
- Baju tanpa lengan dari bahan beludru
- Sondher (sampur ) Cindhe
- Slepe berwarna emas
- Keris bentuk branggah, dengan oncen
- Kain batik biasanya bercorak parang rusak
Tata Iringan
- Gending Ladrang atau sabrangan
- Kendhangan Soroyuda
- Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan
Keterangan
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia . Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta.

SRIMPI "RENGGOWATI"

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Tahun
1823-1855
Jumlah Penari
5 (lima ) orang putri
Property
Boneka Burung Belibis
Sekilas Cerita
Mengkisahkan tentang Prabu Anglingdarma yang karena kutukan Dewa menjadi burung Belibis putih dalam pengembaraannya ia mencari titisan Dewi Setyawati isterinya yang telah meninggal dunia dengan membakar diri . Sampailah ia ke taman Bojonegara dan bertengger diatas pohon Sumarsana wilis . Secara kebetulan pada saat itu Dewi Renggowati sedang bercengkerama ditaman dan tertarik burung Belibis putih tersebut . Segeralah burung ditangkapnya, diembannya dibawa keperaduan . Akhirnya burung Belibis putih berubah kembali keasalnya yaitu Prabu Anglingdarma, dan dewi Renggowati memang benar titisan Dewi Setyawati isterinya .
Tata Pakaian
- Hiasan Kepala dengan jamang
- Telinga dengan Ron
- Cundhuk Menthul
- Cundhuk Jungkat
- Risolin
- Pelik dari kertas dan ketep
- Ceplok, jebehan
- Kondhe dengan bentuk gelung Bokor
- Godhegan
- Kalung susun
- Kelat bahu
- Gelang kana 1 (satu) pasang
- Subang 1 ( satu) pasang
- Cincin
- Baju tanpa lengan dari bahan beludru
- Sondher (sampur ) Cindhe
- Slepe berwarna emas
- Keris bentuk branggah dengan Oncen
- Kain batik biasanya bercorak Parang Rusak
Tata Iringan
- Gendhing Ladrangan atau sabrangan
- Kendhangan Soroyudo
- Ketawang , ayak-ayak srepegan

GUNTUR SEGARA

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Tahun
1755-1792
Jumlah Penari
4 ( empat ) orang putra
Property
Tameng dan Gada / Bindi
Sekilas Cerita
Mengambil lakon dari wayang Gedho atau ceritera Panji yakni ketika Raden Joyoseno seorang putera raja jenggala dari Ibu Dewi Wandansari , menghadap ayahnya agar diakui sebagai Puteranya . Akan tetapi raja Jenggala belum mau mengakui Joyoseno sebagai puteranya sebelum dapat mengalahkan putera Raden Brojonoto yang bernama Raden Guntur Segara. Di dalam perkelahian itu kedua kesatria tak ada yang kalah maupun menang . Akhirnya Raden Joyoseno diakui sebagai Putera raja Jenggala .
Tata Pakaian
  • Irah- irahan dengan Tepen Kodhok Bineset, Cunduk berwarna emas dan rambut yang diklabang
  • Telinga dengan Grompolan
  • Kelat bahu
  • Kalung Tanggalan
  • Kaweng Cindhe
  • Sabuk dan Bara Cindhe
  • Kamus dan Kretep
  • Sondher Cindhe
  • Celana Cindhe bentuk Panji-panji
  • Kain Batik bercorak poleng
  • Buntal
  • Keris berbentuk gayaman , dengan oncen
Tata Iringan
Maju dengan lagon , ngelik slendro patet Manyuro. Gendhing liwung untuk maju gendhing. Enjer dengan gendhing Kala Ganjur laras slendro patet manyuro
Keterangan
Tarian dengan ragam Tari Gagah Kambeng. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta.

BEKSAN TUGU WASESA

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Tahun
1755-1792
Jumlah Penari
4 (empat ) orang putra
Property
Tombak
Sekilas Cerita
Dari siklus Panji , menggambarkan perang antara Prabu Tuguwasesa seorang raja negara Jenggala melawan Prabu Dasalengkara seorang raja Negara Pudak setegal , diakhiri dengan kemenangan Prabu Tuguwasesa
Tata Pakaian
- Irah-irahan dengan Songkok berhiasan benang emas
- Telinga dengan Sumping Mangkara memakai Oncen
- Kelat Bahu
- Kalung Tanggalan
- Kaweng Cindhe
- Sabuk dan Boro Cindhe
- Kamus dan Kretep
- Sondher ( sampur ) Cindhe
- Celana Cindhe bentuk Panji-panji
- Kain batik bercorak Parang rusak Barong gurdha
- Buntal
- Keris bentuk Gayaman memakai oncen
Tata Iringan
- Lagon Ngelik Laras slendro Pathet Manyuro
- Gending Rino- rino laras slendro Pathet Manyuro
- Gendhing Sumirat laras Slendro Pathet Manyuro untuk maju gendhing
- Gendhing Gajah Tama laras slendro pathet Manyuro untuk enjeran
- Perang dengan gendhing kala Ganjur laras slendro pathet Manyuro
Keterangan

Tarian ini dengan ragam tari Gagah Kalang Kinantang. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta.

GOLEK "PAMULARSIH"

Jumlah Penari
1 ( satu ) orang
Sekilas Cerita
Menggambarkan remaja putri yang sedang merias diri
Tata Pakaian
- Hiasan kepala memakai Jamang
- Telinga dengan sumping
- Cundhuk Menthul
- Cundhuk Jungkat
- Pelik dari kertas dan ketep
- Ceplok , jebehan
- Kondhe dengan Sinyong
- Godhegan
- Kalung Tanggalan
- Sepasang kelat bahu
- Sabuk
- Sondher ( sampur ) Cindhe
- Kain Batik parang rusak
- Baju tanpa lengan dari bahan beludru
Tata Iringan
Gendhing Pamularsih

LAWUNG AGENG

Pencipta
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Tahun
1755-1792
Jumlah Penari
16 (enam belas ) orang
Nama Posisi Penari
- Lawung jajar
- Lawung Lurah
- Botoh
- Salaotho
- Ploncon
Property
Lawung ( Tongkat panjang dengan ujung tumpul )
Sekilas Cerita
Menggambarkan para prajurit yang sedang latihan perang sambil menunggang kuda dengan senjata Lawung. Akan tetapi dibalik , secara visual menggambarkan latihan perang prajurit ada nilai filosofinya , yaitu menggambarkan suami isteri yang memadu kasih atas dasar itu tari Lawung di Kraton Yogyakarta selalu dipentaskan pada upacara temu pengantin
Tata Pakaian
- Irah-irahan dengan tephen kondhe Bineset, belakang dengan hiasan bunga yang diletakkan pada cundhuk berwarna emas dan rambut yang diklabang
- Telinga dengan grompolan
- Kelatbahu bentuk Candra Kiranan sepasang
- Kalung Tanggalan
- Kaweng Cindhe
- Sabuk dan bara Cindhe
- Kamus dan Kretep
- Sondher ( sampur ) Cindhe
- Celana Panji- Panji Cindhe
- Kain Batik Corak poleng

LANGENDRIYA "DAMARWULAN KROMO"

Pencipta
K.G.P.A.A Mangkubumi Putera Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Tahun
1876
Komposisi
Dilakukan dengan posisi jongkok dengan dialog dan tembang Macapat dan tembang tengahan ,diselingi dengan dialog biasa
Sekilas Cerita
Mengambil dari serat Damarwulan yang mengisahkan perjalanan hidup Damarwulan,setelah Damarwulan berhasil membunuh Menakjinggo seorang Adipati Blambangan , ia dijadikan raja di negara Majapahit dengan gelar Prabu Brawijaya serta Dewi Kencana Wungu sebagai Permaisurinya
Tata Pakaian
Kostum Penari

KLONO TOPENG

Jumlah Penari
1 (satu) orang
Property
Topeng
Sekilas Cerita
Diambil dari siklus Panji Yang menggambarkan Prabu Klono Sewandono Jatuh cinta pada Dewi Candrakirana seorang putri Raja Kediri , karena sedang dirundung asmara maka ia selalu merias dirinya , ini tergambarkan pada ragam dan gerak tari yang menggambarkan orang yang sedang merias dirinya
Tata Pakaian
-Irah- irahan dengan bentuk tekes
-Topeng berwarna merah tua
-Telinga memakai sumping , oncen
-Kalung Tanggalan
-Sepasang kelat bahu
-Kaweng Cindhe
-Sabuk dan Bara Cindhe
-Kamus dan kretep
-2 (dua) sondher ( satu dikalungkan )
-Celana Cindhe bentuk Panji-panji
-Buntal
-Kain batik corak Barong Gurdha
-Keris branggah , dikewal
-Oren rambut
Tata Iringan
Gendhing Bendrong bisa laras Slendro atau Pelo

Kamis, 16 April 2009

Beksan Guntur Segara

Salah satu jenis tari yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I di Kraton Yogyakarta. Penari dalam Beksan Guntur Segara berjumlah empat orang pria. Perlengkapan yang digunakan berupa senjata, antara lain : gada, bindi dan tameng.

Busana yang dikenakan oleh penari beksan; ikat kepala berbentuk tepen, kelat bahu candrakirana, celana cindhe, kain batik poleng, sonder cindhe, buntal keris gayaman, sabuk, bara cindhe, kamus timang dan kawung cindhe.
Cerita dari Beksan Guntur Segara bersumber pada cerita panji atau wayang gedog. Dikisahkan bahwa seseorang pangeran putra raja Jenggala dari Ibu Wandansari bernama Raden Jayasena mencari ayahnya, raja Jenggala.Raja Jenggala belum mau mengakui Jayasentana sebagai anaknya sebelum dapat mengalahkan Raden Guntur Segara, anak Raden Brajanata. Perang pun terjadi. Dalam perang tanding itu tiada yang kalah maupun yang menang. Akhirnya Jayasena diakui sebagai putra Raja Jenggala.

Beksan Sekar Medura

Tari putera yang para penarinya membawa botol minuman, ditarikan oleh 8 penari putera. Disebut juga Beksan Gendul. Penyebutan Beksan Gendul ini didasarkan pada perlengkapan yang digunakan yaitu berupa Gendul atau botol serta gelas kecil atau sloki. Beksan Sekar Medura merupakan salah satu bagian dari Beksan Lawung. Ciri khas Beksan Gendul atau Beksan Sekar Medura terletak pada perlengkapan yang digunakan berupa botol (gendul) dan gelas kecil (sloki). Perlengkapan tersebut menunjukkan bahwa para prajurit setelah perang dan menang lalu bersenang-senang dan saling menghibur dengan minum-minuman keras.

Penari dalam Beksan Sekar Medura berjumlah delapan orang pria, terdiri empat penari alus dan empat penari gagah. Penari yang paling depan dalam Beksan Sekar Medura disebut Batak atau pemimpin dua orang yaitu satu orang penari alusan dan satu orang gagahan.

Pemberian nama Beksan Sekar Medura diambil dari nama-nama prajurit Sultan Hamengku Buwana I dan Makasar, Bugis yang berasal dari Madura. Prajurit-prajurit inilah yang telah membantu Sultan Hamengku Buwana I selama 9 tahun ( 1746-1755) melawan Belanda.

Busana yang digunakan untuk penari alusan terdiri dari : tepen disertai hiasan sisir dan bunga di belakang, rambut di kepang berbentuk kadhal menek, kelat bahu kulit pradya, kalung sungsung tiga, kamus timang, keris branggah dan onten, kain parang rusak (supit urang), celana panji-panji cindhe warna merah, lonthong cindhe warna merah, bara, sondher cindhe warna merah. Adapun busana untuk penari gagah terdiri dari : tepen dengan hiasan sisir dan bunga di belakang rambut berbentuk kadhal menek sumping grompolan,kelat bahu kulit, kalung tanggalan, kaweng, kamus timang lontong, atau stagen cindhe warna merah,bara, celana panji-panji cindhe warna merah, buntal, keris, bancehan topengan, oncen.

Bahasa yang dipergunakan dalam pocapan atau dialog pada Beksan Sekar Medura menggunakan bahasa campuran yaitu Bahasa Melayu, Madura, Bagelen, dan Bahasa Bagongan. Gending yang dipakai sebagai iringan Beksan Sekar Medura adalah cengbarong laras slendro pathet sanga kendhangan candra rara ciblon. Beksan ini diawali dan diakhiri dengan lagon. Beksan Sekar Medura untuk alusan menggunakan ragam gerak tari putra alus dan gagahan menggunakan gerak tari putra gagah.

Beksan Lawung Alit

Disebut juga Beksan lawung alus.Beksan Lawung Alus ( alit) ditarikan oleh 16 orang penari, terdiri dari 4 orang penari sebagai ploncon atau pengampil. 4 orang penari sebagai lawung jajar, dan 4 orang penari sebagai lawung lurah. Tata laku Beksan lawung alus sama dengan Beksan lawung ageng. Penyajiannya dimulai dari Beksan penari lawung jajar, setelah selesai dilanjutkan beksan penari lawung lurah. Penari ploncon atau pengampil bertugas menyiapkan dan membawa lawung yang akan dipakai menari maupun bertanding oleh para penari lawung jajar. Seperti halnya Beksan Lawung Ageng, Beksan Lawung Alit juga terdiri dua bagian yaitu lawung jajar dan lawung lurah.

Busana yang berkenalan penari dalam Beksan Lawung Alit, pada dasarnya sama dengan tata busana tari klasik Yogyakarta.

(1) Lawung Lurah mengenakan : iket tepen, kamus timang, kalung sungsung, kelat bahu, keris, celana panji-panji cindhe kain parang kesit, sabuk, bara, sampur cindhe.

(2) Lawung jajar mengenakan : iket tepen, celana panji-panji bermotif cindhe, kain kawung, sabuk, bara, kamus timang, sampur cindhe, kalung sunsung, kelat bahu, keris.

(3) Ploncon memakai : iket tepen, tanpa hiasan,celana, sampur, kain polos.

Bahasa yang dipergunakan dalam pengantar Beksan Lawung Alus adalah Bahasa Jawa. Gamelan yang dipakai untuk mengiring beksan ini adalah Kia Guntur Sari berlaras pelog. Gamelan ini memiliki 16 saron ( metalofon berukuran besar, sedang dan kecil). Untuk mengiringi Beksan Lawung dilengkapi dengan genderang. Gending pengiring Beksan Lawung Jajar menggunakan gending Arjuna Asmara. Kedua gending ini termasuk dalam gending-gending sabrangan dan berbentuk lanrang yaitu gongan terdiri tiga puluh dua pukulan balungan, empat kenong, dan tiga kempul, dengan adu lawung menggunakan gending gangsaran. Ragam gerak Beksanl lawung alus menggunakan ragam tari putra alus yaitu ragam tari impur.

Beksan Trunajaya

Disebut juga Beksan Lawung Ageng atau Beksan Lawung Gagah. Dinamakan Beksan Trunajaya karena pada zaman dahulu para penari diambilkan dari regu Trunajaya yang merupakan bagian dari pasukan ( prajurit) Nyutra. Pasukan ini merupakan gudang penari waktu itu hingga sebelum perang dunia masih tampak sangat erat hubungannya dengan seni tari. Nama-nama anggota pasukan diberi nama wayang semua dan mereka masih ditugaskan melayani para penari wayang wong dalam hal membenahi para penari, melayani properties seperti senjata, dampar dan lain-lain yang digunakan dalam pagelaran. ( lihat Beksan Lawung).

Beksan Trunajaya diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beksan ini didasarkan menurut nama golongan abdi dalem Tarunajaya( Taruna berarti muda, dan jaya berarti menang), sesuai dengan sifat tarinya yang mempergunakan senjata lawung ( semacam tombak), yang mengesankan latihan perang-perangan. Tarian ini dilakukan oleh 42 orang pelaku ( menurut J. Groneman ) bertempat di Kepatihan Danurejan . Pada waktu sesudah upacara perkawinan Kraton apabila Sri Sultan menantu.

Beksan Trunajaya menurut B.P.H Surybrongto diciptakan karena adanya inspirasi dari perlombaan watangani. Watangan adalah perlombaan ketrampilan antar prajurit dengan mempergunakan watang atau lawung ( tongkat dengan panjang kurang lebih 3 m berujung tumpul). Sultan Hamengku Buwana I mengambil nama Beksan Trunajaya dengan maksud untuk menanamkan semangat dan jiwa dari Madura yang mempunyai cita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sultan Agung dalam membela tanah airnya melawan Belanda ).

Semangat perjuangan yang mengesankan Sultan Hamengku Buwana I, sehingga salahsatu pasukannya dengan nama Trunajaya, dan sekaligus untuk menyebut Beksan ciptaannya dengan sebutan Beksan Trunajaya.
Pementasan Beksan Trunajaya biasanya di pendapa dan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam. Beksan Trunajaya ( Lawung Ageng ) ditarikan oleh 16 orang penari dengan ragam gerak gagah yang dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Empat penari jajar dengan gerak tari ragam bapang.
(2) Empat penari lurah dengan gerak tari ragam kalang kinantang.
(3) Empat penari ploncon ( pembawa lawung) dengan ragam gerak tari kalang kinantang.
(4) Dua penari botoh dengan ragam gerak kalang kinantang.
(5) Dua orang sebagai penari salaotho (pelayan/abdi/pembantu) memakai ragam gerak bebas atau tidak kaku, sebab gerakannya mengikuti gerakan penari botoh. Selama menari, botoh membawa tongkat pendek (teken) dan salaotho membawa ampilan yaitu kotak berisi uang taruhan.

Rias dan busana yang dipergunakan adalah rias dan tradisi Yogyakarta. Busana tersebut dapat dipakai untuk membedakan karakter dan tokoh-tokoh tarinya. Adapun busana yang dinekanan dalam Beksan Lawung ageng adalah sebagai berikut :
(1) Botoh mengenakan : songkok narendra memakai hiasan bludiran, sumping roni, kalung, sungsuh tiga, kelat bahu, celana cindhe, kain parang rusak barong, bara, sampur teken, dhuwung branggah, buntal, ditambah tongkat atau teken untuk memberi aba-aba kepada jajar atau lurah, ikat kepala songkok.
(2) Lurah mengenakan : tepen kodhok bineset pareanom, kalung tanggalan kelat bahu ngangrangan, kaweng cindhe, celana cindhe, kain parang gurdha, bara, kamus timang, dhuwung gayaman, sampur cindhe.
(3) Jajar memakai : tepen kodhok bineset warna biru tua, kawng, kalung tanggalan, kelat bahu, celana cindhe, kain kawung gurdha, bara, kamus timang, buntal, dhuwung gayaman, ditambah klinthing.
(4) Ploncon memakai : tepen kodhok, bineset warna coklat, celana panji-panji bermotif cindhe, kain parang rusak alit atau klithik dengan cara pakai supit urang, kaweng polos, bara, buntal, kalung tanggalan sondher.
(5) Salaotho memakai celana panjang polos warna putih dan baju dengan panjang polos, kain bermotif bangpangan, membawa sapu tangan disampirkan di pundak peti atau kotak kecil berisi uang.
Karakter yang menjiwai Beksan lawung ageng untuk jajar gerakannya ekspresif, dinamis dan penuh semangat, sedangkan karakter gerak untuk lurah tenang, yakin dan pasti. Botoh sebagai pimpinan harus dapat bersikap tegas dan berwibawa. Dalam Beksan Lawung ageng digunakan bahasa campuran Madura, Melayu, Bugis dan Makasar dan Jawa. Penggunaan bermacam-macam bahasa yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara kerajaan Mataram dengan kerajaan-kerajaan bawahan atau taklukan.

Beksan lawung ageng terdiri dari dua bagian yaitu bagian lawung jajar dengan menggunakan gendhing gangsangan dhawuh(masuk) gedhing ronong tawang dengan menggunakan rog-rog asem dan untuk perangan menggunakan gendhing gangsangan. Untuk maju mundurnya para penari dari pendapa sebagai arena pentas diiringi dengan lagon untuk menambah greged pertunjukan. Sedang keprak digunakan untuk aba-aba atau sebagai penanda tertentu bagi penari.

Lawung

Beksan Lawung. Tarian perang-perangan atau ulah yuda. Beksan Lawung merupakan salah satu beksan ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beksan ini diilhami oleh keadaan waktu dimana ada kegiatan prajurit-prajurit sebagai abdi dalem raja selalu mengadakan latihan watangan, berlatih ketangkasan berkuda dengan membawa watang atau lawung, yaitu sebuah tongkat panjang kurang lebih 3 m berujung tumpul, dan silang menyodok untuk menjatuhkan lawan.
Dialog yang digunakan merupakan campuran dari bahasa Madura, bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Beksan ini oleh Sri Sultan dijadikan Beksan ceremonial yang sangat terhormat, bahkan menjadi wakil pribadi dan Sri Sultan pada resepsi perkawinan agung pada hari pertama di Kepatihan dimana menurut istidadat Jawa. Sri Sultan tidak boleh menghadirinya. Beksan ini lengkapnya terdiri 40 orang penari dan dibagi dalam 3 beksan yaitu: Lawung Ageng untuk gagahan dengan 16 orang penari, beksan sekar medura dengan 8 penari gagah dan alus: ke 3 beksan ini apabila dipentaskan lengkap akan memakan waktu 5 jam dengan iringan gamelan khusus yaitu Kiai Guntur Sri dengan suaranya yang antep mengalun selama pagelaran ini berlangsung para penari disamping sisi kiri kanan gamelan dilarang istirahat
Tari pria bersenjatakan lawung (tombak) pada umumnya dibawakan oleh 16 orang penari putera,dan beksan putra ini termasuk dalam tari upacara. Dahulu biasa dipergelarkan untuk merayakan resepsi perkawinan putra-putri sultan di kepatihan . Beksan lawung dipakai sebagai wakil raja dalam upacara pernikahan tersebut. Karena suatu hal yang tabu serta menghilangkan kewibawaan raja apila raja sampai hadir di kepatihan yang tingkat derajatnya berada di bawah raja. Karena beksan lawung dianggap sebagai wakil raja, maka tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat.

Dalam perjalanan dari Kraton ke kepatihan para penari beksan lawung mengendarai kuda denag dipayungi sonsong gilap kebesaran dikawal oleh prajurit wirabraja dan diringi gamelan Kia Guntur Sari yang sepanjang jalan dibunyikan dengan melagukan gending –gendhing sabrangan. Beksa lawung secara lengkap terdiri dari 3 bagian yaitu (1)Beksa lawung alit (2) Beksa lawung ageng atau beksan lawung gagah atau beksa trunajaya( lihat Beksa Trunajaya), dan (3) Beksa Sekar Medura.

Beksa lawung diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I yang memerintah dari tahun 1755-1792. Beksa ini merupakan usaha dari Sultan untuk mengalihkan perhatian Belanda terhadap kegiatan prajurit Kraton Yogyakarta. Karena pada masa itu dalam suasana perang, sultan harus mengakui dan tunduk segala kekuasaan Belanda di Kasultanan Yogyakarta. Ia harus patuh pada segala perintah maupun peraturan yang telah ditentukan, termasuk olah keprajuritan. latihan keprajuritan dengan menggunakan senjata di larang oleh Belanda. Oleh karena itu sultan mengalihkan olah keprajuritan ke dalam bentuk beksan yaitu beksan lawung. Melalui beksa lawung ini sultan berusaha untuk membangkitkan sifat kepahlawanan prajurit Kraton pada masa perang tersebut.

Beksa lawung menunjukkan semangat dan keberanian melalui gerakan-gerakan tari. Oleh karena itu tema dalam Kraton khususnya Beksa Lawung kebanyakan bertema kepahlawanan. Beksa berisi sindiran-sindiran halus sebagai ungkapan rasa tidak senang sultan terhadap pembesar-pembesar Belanda di Kraton Yogyakarta. Selain itu, Beksa Lawung diangkat sebagai tari ritual wakil sultan dalam upacara perkawinan putra dan putrinya, bukan semata-mata sebagai wakil yang wadang tetapi juga wakil kawruh urip yang harus dicerna oleh kedua mempelai lewat keseluruhan pagelaran. Hakekat pesan ini secara transparan diutarakan lewat lewat lagon diawal pertunjukan Beksa Lawung sebagi petuah sultan tentang perkawinan yang diakhiri dengan simbol kesuburan . Dalam Beksa lawung disimbolkan dengan tongkat atau lawung, dan perempuan dilambangkan dengan tanah. Tanah sebagai bumi sering disebut ’ ibu pertiwi ’, lambang keperempuan.

Dalam latihan Beksa lawung diberikan kepada prajurit-prajurit peleton/ pasukan Trunajaya sehingga Beksa Lawung atau Beksa Trunajaya itu berubah menjadi Beksa lawung ageng dikarenakan hadir Beksa lawung alit dan Beksa Sekar Madura sebagai bvagian dari beksa lawung secara keseluruhan. Sebagai akibat orang seringkali menyebut Beksa lawung diidentikkan dengan Beksa lawung ageng.

Pada tahun 1918 berdiri perkumpulan Kridha Beksa Wirama, sehingga Beksa lawung boleh dipergelarkan dan diajarkan kepada orang lain di luar Kraton atas izin Sultan Hamengku Buwana VII. Sejak itulah kesenian istana, khususnya Beksa Lawung, makin banyak diminati dan maju pesat. Perkembangan selanjutnya Beksa Lawung dipentaskan untuk para wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga terjadi pemadatan waktu pentasnya.

Joyo Semedi

Joyo Semedi, Lakon, Lakon Wayang Wong yang dipergelarkan dan diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I. Lakon Jaya Semedi adalah sebuah lakon carangan wiracarita mahabarata yang menggambarkan hilangnya Arjuna (Janaka) yang mengakibatkan datangnya para pelamar yang menginginkan Wara Sumbadra, istri pertama Arjuna. Lakon Wayang Wong Jaya Semedi merupakan salah satu lakon terpanjang yang berlangsung selama empat hari pada pertunjukan wayang wong diistana Yogyakarta tahun 1923

Ganda Werdaya

Ganda Werdaya, lakon wayang wong, Bentuk pementasan wayang wong secara massal. Bentuk tariannya berupa cerita cerita kepahlawanan, kisahnya diambil berdasarkan Ephos Mahabarata. Tujuan lakon ini adalah untuk menanamkan jiwa dan sifat kepahlwanan dari satria-satria pandhawa yang gagah berani. Lakon Gondowerdoyo diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I

Lakon Gondowerdoyo atau Gandawardaya merupakan sebuah lakon carangan atau cerita cabang dari wiracarita mahabarata yang menggambarkan pertikaian antara dua saudara tiri, yaitu Gandawardaya dan Gandakusuma. Keduannya adalah putera Arjuna dari dua orang ibu yang berbeda. Ketika drama tari wayang wong dengan lakon Gandawardaya dipergelarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada sekitar tahun 1847 untuk memperingati berdirinya, Kraton Yogyakarta, pertunjukan itu adalah sebuah ritual kenegaraan.

Kanjeng Raden Tumenggung Jayadipura

Kanjeng Raden Tumenggung Jayadipura, Seniman istana yang jenius, yang berhasil menciptakan tata busana wayang wong Istana Yogyakarta yang sangat megah. Tata busana wayang kulit, sehingga memudahkan penonton untuk membedakan peran yang satu dengan yang lainnya. Bukan hanya tokoh-tokoh kesatria saja yang dicipta tata busananya, tetapi juga tokoh-tokoh raksasa, binatang bahkan juga pentas ( Stage props) berupa goa pertapaan, laut, pemandangan alam, teknik-teknik kelengkapan pentas yang menajubkan. Segala macam binatang buas penghuni hutan dibuat dengan ukuran yang sangat besar. Burung Garuda yang kadang-kadang menjadi ciri kemegahan wayang wong gaya Yogyakarta ada lima yang diciptanya, yaitu Garuda Yaksa berwarna merah, garuda winantiya berwarna putih, Garuda wilmuka berwarna merah, garuda wildata berwarna hijau, dan Garuda Sura berwarna kuning. Kelengkapan-kelengkapan pentas yang lainnya ialah goa pertapaan, bukit, taman yang dibuat mirip dengan keadaan yang sesungguhnya, panah api, dan sebagainya.

Sudharso Pringgobroto

Sudharso Pringgobroto. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 Juni 1921, putera seorang Asisten Wedhana di Tempel Sleman. Orang tuannya bernama R. Pringgopiyogo, yang menjabat asisten wedana sejak tahun 1972 dan dikenal sebagai seorang Penayub (tukang Nayub) yang baik, pemegang peran utama dalam pementasan yang berbentuk drama tari.

Sebagai seorang yang berdarah seni Sudharso mulai belajar menari pada tahun 1937 pada organisasi tari Jawa Kridha Beksa Wirama di bawah asuhan GBH Tedjokusumo. Disamping itu, juga belajar menari dan menabuh gamelan di Dalem Purwonegaran di bawah asuhan K.R.T. Purwonegara. Selain itu, ia belajar tari pada guru-guru antara lain : BPH. Suryodiningrat, K.R.T Soeryomurtjito dan Bapak Suyadi Hadisuwanto.

Sudharso duduk sebagai Formatur Dewan Ahli dalam perencanaan berdirinya organisasi Irama Tjitra dan sebagai pengajar ketika organisasi telah berdiri. Disamping itu, juga mengajar tari diperguruan Taman Siswa dan karya-karya tari yang telah diciptakan antara lain : Tari Sari Mawur ( putri), tari serimpi, tari sayungan, dan beksan Enjeran. Karya yang berbentuk bedayan antara lain: Bedaya Dewa Ruci ( 1951), Bedaya Revolusi dan Bedaya berdirinya Taman Siswa. Sedangkan yang berbentuk drama tari antara lain : Cerita Panji Djayalengkara (1952). Sendratari Gandakusuma, sendratari Guru gantangan, Sendra tari Gading Pawukir dan sebagainya. Kesemuanya itu diciptkan semasa berdirinya organisasi tari Irama Tjitra.

Raden Wedono Larassumbogo

Raden Wedono Larassumbogo, putra kedua dari R. Sosrosidurejo ini dilahirkan di Kampung Bumijo Yogyakarta pada tanggal 27 Juli 1884 atau 12 Dulkongidah wawu 1813. Pada masa kecilnya bernama R. Hardjo. Mempelajari gamelan ( Karawitan) Sejak usia 11 tahun di bawah asuhan K.R.T Purboningrat, dan kemudian dimagangkan dalam Kraton Yogyakarta.

Pada tahun 1904 oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII, RW. Larassumbogo diangkat menjadi Abdi Dalem Jajar Wiyogo . Tahun 1910 diangkat menjadi Bekel Enem. Tahun 1918 naik pangkat menjadi Bekel Sepuh oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada tahun 1923 R.B Larassumbaga diangkat menjadi lurah dengan nama gelar Raden Lurah Larassumbogo dan akhirnya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX diangkat menjadi wedono dengan nama dan gelar Raden Wedono Larassumbogo hingga meninggal dunia pada tanggal 10 Oktober 1958.

Ketika tahun 1917 di Yogyakarta berdiri perkumpulan ” Dwi Sawara”, R.W. Larassumbogo menjadi pemimpinnya. Selain Itu, ia pernah berkecimpung dalam perkumpulan karawitan seperti Doyo Pradonggo, Mudhoraras, Hadibudoyo, dan lain-lain. Keistimewaan R.W Larassumbogo selain menguasai setiap instrumen Jawa juga mahir memainkan gambang, bonang dan gender. Gendhing gendhing ciptaanya kurang lebih 35 macam diantaranya gending Ngeksi Gondo, Windu Haji, Teguh Jiwo, atau Tek Dhug. Disamping RW. Larassumbogo pernah membuat buku gendhing dan dikeluarkan oleh percetakan Kolf Jakarta.

Jumat, 20 Maret 2009

museumdewantarakirtigriyasebagaiodtwbudaya1








MUSEUM
DEWANTARA KIRTI GRIYA SEBAGAI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA




  1. PENDAHULUAN








Pengembangan Pariwisata di DIY dilaksanakan dengan
pembagian Propinsi DIY menjadi lima Kawasan Pengembangan Pariwisata
(KPP). Untuk KPP Kota Yogyakarta arahan pengembangannya adalah Wisata
Budaya dan Wisata Minat Khusus. Hal ini sesuai dengan potensi Kota
Yogyakarta, yaitu:




  1. 5 dari 13 Kawasan Cagar Budaya di DIY berada di Kota
    Yogyakarta



  2. 7 dari 8 tempat pertunjukan kesenian berada di Kota
    Yogyakarta



  3. 16 dari 22 museum di DIY berada di Kota Yogyakarta



Museum
merupakan sebuah lembaga yang bersifat permanen, melayani kepentingan
masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan
mencari keuntungan yang mengumpulkan, memelihara, meneliti,
memamerkan, dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material
manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan
rekreasi (FFJ Schouten, PengantarDidaktik Museum,Jakarta,Proyek
Pembinaan Permuseuman, Ditjen Kebudayaaan, 1992: 3).


Kebijaksanaan
permuseuman sejak tahun 1997 dipegang oleh Dinas Kebudayaan Propinsi
DIY. Namun sebelumnya pada tahun 1971 telah berdiri Badan Musyawarah
Musea (Barahmus) DIY dan pada 28 Oktober 1998 berdiri Badan
Musyawarah Museum-Museum Indonesia (BMMI) yang telah menjadi anggota
Internasional Council of Museum (ICOM).


Museum sebagai
salah satu potensi budaya di DIY ternyata sering terabaikan oleh para
pelaku wisata dan pendapatan sektor museum menempati urutan kelima
dari tujuh sub sektor pariwisata.


PENDAPATAN
SUB SEKTOR PARIWISATA DI DIY


PADA
TAHUN 1994-1996

































































NO.



SEKTOR



1994



1995



1996



1



Pajak
pembangunan I



17%



31,9%



58,4%



2



Obyek
wisata



17,1%



17,2%



17,6%



3



Bioskop



41,7%



32,6%



14,1%



4



Pajak
tontonan



17,5%



12,6%



4,1%



5



Museum



3,6%



3,1%



3,4%



6



Atraksi



2,8%



2,5%



2,3%



7



Ijin
usaha, restribusi losmen, dan RHU



0,3%



0,3%



0,1%




Sumber: Bappeda Prop. DIY



Dengan mengetahui keadaan tersebut kami mengkaji keberadaan museum di
DIY dengan memilih Museum Dewantara Kirti Griya karena:




  1. Museum Dewantara Kirti Griya setelah mengalami
    rehabilitasi namun masih terlihat sepi.



  2. Museum yang bernilai sejarah tinggi yang bisa dikatakan
    mempunyai potensi menjadi Museum Nasional namun keberadaanya
    terabaikan.












II
KEADAAN MUSEUM SAAT INI



Museum Dewantara
Kirty Griya terletak dalam kesatuan komplek Pendopo Agung Taman Siswa
di jalan Tamansiswa, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota
Yogyakarta. Pendopo tersebut oleh Majelis Luhur Tamansiswa dinyatakan
sebagai Monumen Persatuan Tamansiswa, menyatu dengan Museum Dewantara
Kirty Griya.



Bangunan museum adalah bekas kediaman Orang Belanda yang
ditempati Ki Hadjar Dewantara sekeluarga dari tahun 1938 sampai
dengan tahun 1958. Letak rumah memang menghadap ke barat namun
praktis sejak dihuni Ki Hadjar Dewantara, jalan masuk dari arah
selatan (samping) melalui halaman pendopo letak ruang tamu pun ada di
sisi bagian selatan, sehingga benar-benar terlihat dan terasa satunya
kediaman Ki Hadjar Dewantara dengan pendopo agung beserta komplek
kegiatan edukatif kultural yang dulu disebut Perguruan Tamansiswa
Mataram, kemudian beralih nama Ibu Pawiyatan Tamansiswa, yang
berarti induk atau Pusat Perguruan Taman Siswa yang dipimpin langsung
oleh Ki Hadjar Dewantara.



Pada dasarnya koleksi museum Dewantara Kirty Griya
terdiri atas :



  1. Bangunan/rumah
    dalam kompleks perguruan Tamansiswa Yogyakarta.




mempunyai luas bangunan 300 m², berdiri di atas tanah 2.720 m².
Bangunan dan tanah dicatat dalam buku Register Angka 1383/IH tahun
1926. Bangunan didirikan pada tahun 1915 dengan material kualitas
prima.





  1. Kumpulan
    surat menyurat Ki Hadjar Dewantara.




Hingga hari ini surat yang menjadi koleksi museum berjumlah 879 pucuk
surat. Berkat bantuan Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta,
kumpulan surat-surat telah dikonservasi dengan tehnik tinggi. Selain
itu telah dibuat mikro film dan disimpan di Arsip Nasional Jakarta;
sedangkan aslinya tetap menjadi koleksi museum Dewantara Kirty Griya.



  1. Perlengkapan
    rumah tangga.




Sebagian besar hasil dari pembelian sebidang tanah dan bangunan yang
berada dalam kompleks Tamansiswa jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta,
antara lain : tempat tidur, meja tulis, meja-kursi tamu, pesawat
telepon buatan Kellog 1927 Swedia, lemari buku, radio dan lemari.



  1. Dokumentasi
    foto.




Foto-foto diawali pada tahun 1904. Koleksi ini telah direproduksi
serta sebagian besar direkam dalam slide. Selain itu museum memiliki
satu unit film dengan judul Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Nasional.
Film ini di buat oleh PFN tahun 1960 dengan ukuran 33 mm dan lama
putar 80 menit. Berkat kemajuan teknologi film dipindah ke kaset
video, dan di hidangkan pada para pengunjung dalam ruangan khusus,
walaupun kondisinya tidak sempurna, namun masih dapat di dengar logat
dan warna nada pembicaraan beliau.



  1. Pustaka
    dalam berbagai tulisan dan bahasa.




Penempatan pustaka :



  1. Di
    museum Dewantara Krity Griya meliputi ketamansiswaan, politik,
    kebudayaan dan pendidikan, yang berjumlah 2341 judul buku.


  2. Di
    perpustakaan museum meliputi Sastra Daerah Jawa (3560 judul), Melayu
    (423 judul), Bahasa Belanda (3789 judul).




Museum Dewantara Krity Griya dilengkapi dengan perpustakaan museum.
Jam buka museum pada hari kerja mulai pukul 08.00-13.00 WIB. Hari
Jumat buka pukul 08.00-11.00 WIB dan hari sabtu pukul 08.00-12.00
WIB. Pada hari Minggu dan hari besar tutup. Tapi apabila ada
permintaan berkunjung secara tertulis beberapa hari sebelumnya diluar
jadwal tersebut dapat di layani.



Biaya untuk masuk museum bersifat sukarela, bantuan sukarela
digunakan untuk biaya pemeliharaan. Museum Dewantara Kirty Griya
dikelola oleh Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa, bidang
pendidikan dan kebudayaan Majelis Lulur Tamansiswa.



Adapun susunan pengurus Museum Dewantara Kirty Griya:



Pembina : 1. Ki Dr. Supriyoko, M.Pd (Ketua Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa)



2. Ki Nayono (Almarhum)



Ketua : Ki Nayono (Almarhum)



Panitera : Nyi Sri Muryani





























III.
KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG dan TANTANGAN








  1. KEKUATAN





  1. Museum
    Dewantara Kirty Griya mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan
    merupakan museum sejarah lahirnya pendidikan yang bersifat nasional
    di Indonesia.



  2. Mempunyai cukup banyak potensi untuk dikembangkan dan
    diusulkan menjadi salah satu dari museum nasional.



  3. Museum terletak pada lokasi yang strategis dan mudah
    dijangkau



  4. Mempunyai peralatan multimedia (VCD, Slide Proyektor,
    Video) untuk menampilkan film tentang Ki Hadjar Dewantara



  5. Keberadaan perpustakaan yang mendukung keberadaan
    museum



  6. Koleksi museum yang begitu lengkap



  7. Kebijaksanan
    pemerintah di bidang pariwisata dan pendidikan –Wajib
    kunjung museum bagi pelajar dan mahasiswa-.



  8. Potensi atraksi pendukung berupa latihan tari dan
    pameran di Pendopo Agung Taman Siswa yang sudah teratur



B.
KELEMAHAN




  1. Luas area yang sangat sempit bagi pengembangan museum



  2. Keterbatasan ruang untuk menampilpajangkan seluruh
    koleksi museum



  3. Kerusakan koleksi museum yang tersimpan di gudang
    akibat keterbatasan ruang









  1. Standart operating procedure pemanduan belum ada



  2. Sarana museum sebagai obyek dan daya tarik wisata
    budaya masih kurang; antara lain: tiket box, wahana interpretasi
    bagi wisatawan



  3. Perlindungan benda koleksi terhadap manusia dan alam
    masih kurang



  4. Keterbatasan
    dana pengembangan dan
    pengelolaan museum



  5. Perawatan koleksi masih manual dan sederhana



  6. Kualitas SDM yakni petugas museum masih kurang



  7. Jumlah/kuantitas petugas masih kurang saat musim
    liburan




C. PELUANG



  1. Pasar
    sasaran potensial yaitu siswa Perguruan Taman Siswa yang berkunjung
    setiap hari libur




b. Pendopo Agung Tamansiswa yang layak dijadikan gedung pertemuan
umum sekaligus mengajak mereka mengunjungi museum.



D. ANCAMAN




  1. Obyek wisata lain yang sejenis dan lebih berkembang
    serta menarik



  2. Apresiasi
    pengunjung terhadap museum dan
    koleksinya yang masih kurang, misal memegang-megang benda koleksi,
    membolak-balik buku koleksi.







IV.
PROGRAM PENGEMBANGAN




  1. Mencari sumber dana dengan
    mengadakan tiket box bagi pengunjung ataupun bekerjasama dengan
    berbagai LSM dan memanfaatkan Pendopo Agung Tamansiswa
    sebagai Gedung Pertemuan umum.



  2. Menjadi anggota/bekerjasama dengan museum lain dalam organisasi
    daerah, nasional maupun internasional.



  3. Pengiriman petugas pada berbagai pembinaan permuseuman.



  4. Penambahan tenaga saat libur sekolah dengan menerima siswa PKL.



  5. Pembuatan Wahana Interpretasi bagi pengunjung



  6. Penambahan ruang audio visual dengan dilengkapi semacam café
    (museum café) dan didukung keberadaan perpustakaan



  7. Pembuatan perangkat perlindungan koleksi.



  8. Aktif dalam berbagai pameran.



  9. Pengadaan cindera mata khas sebagai pelestari kesan.




10. Mengadakan kegiatan yang aspek
demonstratifnya tinggi dengan melibatkan pasar sasaran yang
dituju-lomba lukis dengan tema-tema tertentu-.





















halaman 1
dari 14