Sabtu, 27 Juni 2009
Selasa, 16 Juni 2009
SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
|
VISI
KOTA YOGYAKARTA
Terwujudnya
Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata
yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah
lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu
Hayuning Bawana
MISI
KOTA YOGYAKARTA
Menjadikan
dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber daya
manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta
kompetitif dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas.
Menjadikan
dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah
dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang
berbudaya.
Menjadikan
dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak pertumbuhan
dan pelayanan jasa yang prima untuk wilayah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .
Menjadikan
dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian
lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.
Menjadikan
dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap
kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat
persatuan dan kesatuan.
|
LAMBANG
KOTA YOGYAKARTA
Dasar | ||||
| Ketetapan | |||
Makna | ||||
1. | a. | Perbandingan | ||
| b. | Warna | ||
|
| Warna | ||
|
| Warna | ||
|
| Warna | ||
|
| Warna | ||
2. | Mangayu | |||
3. | a. | Bintang | ||
| b. | Padi | ||
4. | Perisai | |||
5. | Tugu | |||
6. | a. | Dua | ||
| b. | Gunungan | ||
|
| - | Beringin | |
|
| - | Banteng | |
|
| - | Keris | |
7. | Terdapat | |||
| a. | Gunaning | ||
| b. | Warna | ||
| ||||
|
|
Senin, 08 Juni 2009
Kamis, 04 Juni 2009
BEDHAYA "TUNJUNG ANOM"
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII |
Jumlah Penari |
9 (sembilan ) orang putri |
Komposisi |
0 0 |
Nama Posisi Penari |
1.Endhel Pajeg 2.Batak 3.Jangga 4.Dhadha 5.Bunthil 6.Apit Ngajeng 7.Apit Wingking 8.Endhel Wedalan Ngajeng 9.Endhel wedalan Wingking |
Property |
Pistol |
Sekilas Cerita |
Mengisahkan tentang Prabu Harjuna Sosrobahu raja negara Maespati yang melamar Dewi Citrawati puteri raja negara Manggada . Sumantri diutus untuk melamarkan dan berhasil memboyong Dewi Citrawati, setelah dapat menaklukan yang juga melamar sang Dewi . Setelah berhasil Sumantri ingin mencoba kesaktian Prabu Harjuna Sasrabahu , akan tetapi dapat ditaklukan oleh sang Prabu. Akhirnya Dewi Citrawati tetap menjadi isteri Prabu Harjuna Sosrobahu dan Sumantri dijadikan patih negara Maespati |
Tata Pakaian |
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata Pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas : - Hiasan kepala dengan jamang - Telinga memakai Ron - Cundhuk menthul - Cundhuk jungkat - Risolin - Pelik - Ceplok jebehan - Kondhe dengan bentuk gelung bokor - Godhegan - Kalung susun - Kelat Bahu - Gelang kana 1 (satu) pasang - Subang 1 (satu) pasang - Cincin 1 (satu) pasang - Baju tanpa lengan dari bahan beludru - Sondher (sampur ) Cindhe - Slepe berwarna emas - Keris bentuk branggah, dengan oncen - Kain batik biasanya bercorak parang rusak |
Tata Iringan |
- Gending Ladrang atau sabrangan - Kendhangan Soroyuda - Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan |
Keterangan |
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta. |
BEDHAYA "SINOM"
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono V |
Tahun |
1921-1939 |
Jumlah Penari |
9 (sembilan ) orang putri |
Komposisi |
0 0 |
Nama Posisi Penari |
1.Endhel Pajeg 2.Batak 3.Jangga 4.Dhadha 5.Bunthil 6.Apit Ngajeng 7.Apit Wingking 8.Endhel Wedalan Ngajeng 9.Endhel Wedalan Wingking |
Property |
Dhuwung ( Keris ) |
Sekilas Cerita |
Mengisahkan Dewi Widaninggar dan Dewi Widaningrum yang akan membalas dendam atas kematian Dewi Adaninggar oleh Dewi Kelaswara , akan tetapi mereka dapat dikalahkan oleh senopati negara Koparman. |
Tata Pakaian |
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas : - Hiasan kepala dengan jamang - Telinga memakai Ron - Cundhuk menthul - Cundhuk jungkat - Risolin - Pelik - Ceplok jebehan - Kondhe dengan bentuk gelung bokor - Godhegan - Kalung susun - Kelat Bahu - Gelang kana 1 (satu) pasang - Subang 1 (satu) pasang - Cincin 1 (satu) pasang - Baju tanpa lengan dari bahan beludru - Sondher (sampur ) Cindhe - Slepe berwarna emas - Keris bentuk branggah, dengan oncen - Kain batik biasanya bercorak parang rusak |
Tata Iringan |
- Gending Ladrang atau sabrangan - Kendhangan Soroyuda - Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan |
Keterangan |
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta. |
BEDHAYA "KUWUNG-KUWUNG"
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono VII |
Jumlah Penari |
9 (sembilan ) orang putri |
Komposisi |
0 0 |
Nama Posisi Penari |
1.Endhel Pajeg 2.Batak 3.Jangga 4.Dhadha 5.Bunthil 6.Apit Ngajeng 7.Apit Wingking 8.Endhel Wedalan Ngajeng 9.Endhel Wedalan Wingking |
Property |
Dhuwung ( keris ) |
Sekilas Cerita |
Pada waktu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menerima Bintang kehormatan dari pemerintah Belanda |
Tata Pakaian |
Pada jaman dahulu Tata pakaian Bedhaya seperti pada tata pakaian pengantin Basahan ( Kebesaran ). Sekarang ini terdiri atas : - Hiasan kepala dengan jamang - Telinga memakai Ron - Cundhuk menthul - Cundhuk jungkat - Risolin - Pelik - Ceplok jebehan - Kondhe dengan bentuk gelung bokor - Godhegan - Kalung susun - Kelat Bahu - Gelang kana 1 (satu) pasang - Subang 1 (satu) pasang - Cincin 1 (satu) pasang - Baju tanpa lengan dari bahan beludru - Sondher (sampur ) Cindhe - Slepe berwarna emas - Keris bentuk branggah, dengan oncen - Kain batik biasanya bercorak parang rusak |
Tata Iringan |
- Gending Ladrang atau sabrangan - Kendhangan Soroyuda - Ketawang , Ayak-ayak , Srepegan |
Keterangan |
Komposisi tari Bedhaya tersebut dengan istilah lajuran , yang merupakan bentuk badan manusia . Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta. |
SRIMPI "RENGGOWATI"
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono V |
Tahun |
1823-1855 |
Jumlah Penari |
5 (lima ) orang putri |
Property |
Boneka Burung Belibis |
Sekilas Cerita |
Mengkisahkan tentang Prabu Anglingdarma yang karena kutukan Dewa menjadi burung Belibis putih dalam pengembaraannya ia mencari titisan Dewi Setyawati isterinya yang telah meninggal dunia dengan membakar diri . Sampailah ia ke taman Bojonegara dan bertengger diatas pohon Sumarsana wilis . Secara kebetulan pada saat itu Dewi Renggowati sedang bercengkerama ditaman dan tertarik burung Belibis putih tersebut . Segeralah burung ditangkapnya, diembannya dibawa keperaduan . Akhirnya burung Belibis putih berubah kembali keasalnya yaitu Prabu Anglingdarma, dan dewi Renggowati memang benar titisan Dewi Setyawati isterinya . |
Tata Pakaian |
- Hiasan Kepala dengan jamang - Telinga dengan Ron - Cundhuk Menthul - Cundhuk Jungkat - Risolin - Pelik dari kertas dan ketep - Ceplok, jebehan - Kondhe dengan bentuk gelung Bokor - Godhegan - Kalung susun - Kelat bahu - Gelang kana 1 (satu) pasang - Subang 1 ( satu) pasang - Cincin - Baju tanpa lengan dari bahan beludru - Sondher (sampur ) Cindhe - Slepe berwarna emas - Keris bentuk branggah dengan Oncen - Kain batik biasanya bercorak Parang Rusak |
Tata Iringan |
- Gendhing Ladrangan atau sabrangan - Kendhangan Soroyudo - Ketawang , ayak-ayak srepegan |
GUNTUR SEGARA
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono I |
Tahun |
1755-1792 |
Jumlah Penari |
4 ( empat ) orang putra |
Property |
Tameng dan Gada / Bindi |
Sekilas Cerita |
Mengambil lakon dari wayang Gedho atau ceritera Panji yakni ketika Raden Joyoseno seorang putera raja jenggala dari Ibu Dewi Wandansari , menghadap ayahnya agar diakui sebagai Puteranya . Akan tetapi raja Jenggala belum mau mengakui Joyoseno sebagai puteranya sebelum dapat mengalahkan putera Raden Brojonoto yang bernama Raden Guntur Segara. Di dalam perkelahian itu kedua kesatria tak ada yang kalah maupun menang . Akhirnya Raden Joyoseno diakui sebagai Putera raja Jenggala . |
Tata Pakaian |
|
Tata Iringan |
Maju dengan lagon , ngelik slendro patet Manyuro. Gendhing liwung untuk maju gendhing. Enjer dengan gendhing Kala Ganjur laras slendro patet manyuro |
Keterangan |
Tarian dengan ragam Tari Gagah Kambeng. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta. |
BEKSAN TUGU WASESA
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono I |
Tahun |
1755-1792 |
Jumlah Penari |
4 (empat ) orang putra |
Property |
Tombak |
Sekilas Cerita |
Dari siklus Panji , menggambarkan perang antara Prabu Tuguwasesa seorang raja negara Jenggala melawan Prabu Dasalengkara seorang raja Negara Pudak setegal , diakhiri dengan kemenangan Prabu Tuguwasesa |
Tata Pakaian |
- Irah-irahan dengan Songkok berhiasan benang emas - Telinga dengan Sumping Mangkara memakai Oncen - Kelat Bahu - Kalung Tanggalan - Kaweng Cindhe - Sabuk dan Boro Cindhe - Kamus dan Kretep - Sondher ( sampur ) Cindhe - Celana Cindhe bentuk Panji-panji - Kain batik bercorak Parang rusak Barong gurdha - Buntal - Keris bentuk Gayaman memakai oncen |
Tata Iringan |
- Lagon Ngelik Laras slendro Pathet Manyuro - Gending Rino- rino laras slendro Pathet Manyuro - Gendhing Sumirat laras Slendro Pathet Manyuro untuk maju gendhing - Gendhing Gajah Tama laras slendro pathet Manyuro untuk enjeran - Perang dengan gendhing kala Ganjur laras slendro pathet Manyuro |
Keterangan |
Tarian ini dengan ragam tari Gagah Kalang Kinantang. Tari ini merupakan koleksi Kraton Yogyakarta. |
GOLEK "PAMULARSIH"
Jumlah Penari |
1 ( satu ) orang |
Sekilas Cerita |
Menggambarkan remaja putri yang sedang merias diri |
Tata Pakaian |
- Hiasan kepala memakai Jamang - Telinga dengan sumping - Cundhuk Menthul - Cundhuk Jungkat - Pelik dari kertas dan ketep - Ceplok , jebehan - Kondhe dengan Sinyong - Godhegan - Kalung Tanggalan - Sepasang kelat bahu - Sabuk - Sondher ( sampur ) Cindhe - Kain Batik parang rusak - Baju tanpa lengan dari bahan beludru |
Tata Iringan |
Gendhing Pamularsih |
LAWUNG AGENG
Pencipta |
Sri Sultan Hamengku Buwono I |
Tahun |
1755-1792 |
Jumlah Penari |
16 (enam belas ) orang |
Nama Posisi Penari |
- Lawung jajar - Lawung Lurah - Botoh - Salaotho - Ploncon |
Property |
Lawung ( Tongkat panjang dengan ujung tumpul ) |
Sekilas Cerita |
Menggambarkan para prajurit yang sedang latihan perang sambil menunggang kuda dengan senjata Lawung. Akan tetapi dibalik , secara visual menggambarkan latihan perang prajurit ada nilai filosofinya , yaitu menggambarkan suami isteri yang memadu kasih atas dasar itu tari Lawung di Kraton Yogyakarta selalu dipentaskan pada upacara temu pengantin |
Tata Pakaian |
- Irah-irahan dengan tephen kondhe Bineset, belakang dengan hiasan bunga yang diletakkan pada cundhuk berwarna emas dan rambut yang diklabang - Telinga dengan grompolan - Kelatbahu bentuk Candra Kiranan sepasang - Kalung Tanggalan - Kaweng Cindhe - Sabuk dan bara Cindhe - Kamus dan Kretep - Sondher ( sampur ) Cindhe - Celana Panji- Panji Cindhe - Kain Batik Corak poleng |
LANGENDRIYA "DAMARWULAN KROMO"
Pencipta |
K.G.P.A.A Mangkubumi Putera Sri Sultan Hamengku Buwono VI |
Tahun |
1876 |
Komposisi |
Dilakukan dengan posisi jongkok dengan dialog dan tembang Macapat dan tembang tengahan ,diselingi dengan dialog biasa |
Sekilas Cerita |
Mengambil dari serat Damarwulan yang mengisahkan perjalanan hidup Damarwulan,setelah Damarwulan berhasil membunuh Menakjinggo seorang Adipati Blambangan , ia dijadikan raja di negara Majapahit dengan gelar Prabu Brawijaya serta Dewi Kencana Wungu sebagai Permaisurinya |
Tata Pakaian |
Kostum Penari |
KLONO TOPENG
Jumlah Penari |
1 (satu) orang |
Property |
Topeng |
Sekilas Cerita |
Diambil dari siklus Panji Yang menggambarkan Prabu Klono Sewandono Jatuh cinta pada Dewi Candrakirana seorang putri Raja Kediri , karena sedang dirundung asmara maka ia selalu merias dirinya , ini tergambarkan pada ragam dan gerak tari yang menggambarkan orang yang sedang merias dirinya |
Tata Pakaian |
-Irah- irahan dengan bentuk tekes -Topeng berwarna merah tua -Telinga memakai sumping , oncen -Kalung Tanggalan -Sepasang kelat bahu -Kaweng Cindhe -Sabuk dan Bara Cindhe -Kamus dan kretep -2 (dua) sondher ( satu dikalungkan ) -Celana Cindhe bentuk Panji-panji -Buntal -Kain batik corak Barong Gurdha -Keris branggah , dikewal -Oren rambut |
Tata Iringan |
Gendhing Bendrong bisa laras Slendro atau Pelo |
Kamis, 16 April 2009
Beksan Guntur Segara
Busana yang dikenakan oleh penari beksan; ikat kepala berbentuk tepen, kelat bahu candrakirana, celana cindhe, kain batik poleng, sonder cindhe, buntal keris gayaman, sabuk, bara cindhe, kamus timang dan kawung cindhe.
Cerita dari Beksan Guntur Segara bersumber pada cerita panji atau wayang gedog. Dikisahkan bahwa seseorang pangeran putra raja Jenggala dari Ibu Wandansari bernama Raden Jayasena mencari ayahnya, raja Jenggala.Raja Jenggala belum mau mengakui Jayasentana sebagai anaknya sebelum dapat mengalahkan Raden Guntur Segara, anak Raden Brajanata. Perang pun terjadi. Dalam perang tanding itu tiada yang kalah maupun yang menang. Akhirnya Jayasena diakui sebagai putra Raja Jenggala.
Beksan Sekar Medura
Penari dalam Beksan Sekar Medura berjumlah delapan orang pria, terdiri empat penari alus dan empat penari gagah. Penari yang paling depan dalam Beksan Sekar Medura disebut Batak atau pemimpin dua orang yaitu satu orang penari alusan dan satu orang gagahan.
Pemberian nama Beksan Sekar Medura diambil dari nama-nama prajurit Sultan Hamengku Buwana I dan Makasar, Bugis yang berasal dari Madura. Prajurit-prajurit inilah yang telah membantu Sultan Hamengku Buwana I selama 9 tahun ( 1746-1755) melawan Belanda.
Busana yang digunakan untuk penari alusan terdiri dari : tepen disertai hiasan sisir dan bunga di belakang, rambut di kepang berbentuk kadhal menek, kelat bahu kulit pradya, kalung sungsung tiga, kamus timang, keris branggah dan onten, kain parang rusak (supit urang), celana panji-panji cindhe warna merah, lonthong cindhe warna merah, bara, sondher cindhe warna merah. Adapun busana untuk penari gagah terdiri dari : tepen dengan hiasan sisir dan bunga di belakang rambut berbentuk kadhal menek sumping grompolan,kelat bahu kulit, kalung tanggalan, kaweng, kamus timang lontong, atau stagen cindhe warna merah,bara, celana panji-panji cindhe warna merah, buntal, keris, bancehan topengan, oncen.
Bahasa yang dipergunakan dalam pocapan atau dialog pada Beksan Sekar Medura menggunakan bahasa campuran yaitu Bahasa Melayu, Madura, Bagelen, dan Bahasa Bagongan. Gending yang dipakai sebagai iringan Beksan Sekar Medura adalah cengbarong laras slendro pathet sanga kendhangan candra rara ciblon. Beksan ini diawali dan diakhiri dengan lagon. Beksan Sekar Medura untuk alusan menggunakan ragam gerak tari putra alus dan gagahan menggunakan gerak tari putra gagah.
Beksan Lawung Alit
Busana yang berkenalan penari dalam Beksan Lawung Alit, pada dasarnya sama dengan tata busana tari klasik Yogyakarta.
(1) Lawung Lurah mengenakan : iket tepen, kamus timang, kalung sungsung, kelat bahu, keris, celana panji-panji cindhe kain parang kesit, sabuk, bara, sampur cindhe.
(2) Lawung jajar mengenakan : iket tepen, celana panji-panji bermotif cindhe, kain kawung, sabuk, bara, kamus timang, sampur cindhe, kalung sunsung, kelat bahu, keris.
(3) Ploncon memakai : iket tepen, tanpa hiasan,celana, sampur, kain polos.
Bahasa yang dipergunakan dalam pengantar Beksan Lawung Alus adalah Bahasa Jawa. Gamelan yang dipakai untuk mengiring beksan ini adalah Kia Guntur Sari berlaras pelog. Gamelan ini memiliki 16 saron ( metalofon berukuran besar, sedang dan kecil). Untuk mengiringi Beksan Lawung dilengkapi dengan genderang. Gending pengiring Beksan Lawung Jajar menggunakan gending Arjuna Asmara. Kedua gending ini termasuk dalam gending-gending sabrangan dan berbentuk lanrang yaitu gongan terdiri tiga puluh dua pukulan balungan, empat kenong, dan tiga kempul, dengan adu lawung menggunakan gending gangsaran. Ragam gerak Beksanl lawung alus menggunakan ragam tari putra alus yaitu ragam tari impur.
Beksan Trunajaya
Beksan Trunajaya diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beksan ini didasarkan menurut nama golongan abdi dalem Tarunajaya( Taruna berarti muda, dan jaya berarti menang), sesuai dengan sifat tarinya yang mempergunakan senjata lawung ( semacam tombak), yang mengesankan latihan perang-perangan. Tarian ini dilakukan oleh 42 orang pelaku ( menurut J. Groneman ) bertempat di Kepatihan Danurejan . Pada waktu sesudah upacara perkawinan Kraton apabila Sri Sultan menantu.
Beksan Trunajaya menurut B.P.H Surybrongto diciptakan karena adanya inspirasi dari perlombaan watangani. Watangan adalah perlombaan ketrampilan antar prajurit dengan mempergunakan watang atau lawung ( tongkat dengan panjang kurang lebih 3 m berujung tumpul). Sultan Hamengku Buwana I mengambil nama Beksan Trunajaya dengan maksud untuk menanamkan semangat dan jiwa dari Madura yang mempunyai cita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sultan Agung dalam membela tanah airnya melawan Belanda ).
Semangat perjuangan yang mengesankan Sultan Hamengku Buwana I, sehingga salahsatu pasukannya dengan nama Trunajaya, dan sekaligus untuk menyebut Beksan ciptaannya dengan sebutan Beksan Trunajaya.
Pementasan Beksan Trunajaya biasanya di pendapa dan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam. Beksan Trunajaya ( Lawung Ageng ) ditarikan oleh 16 orang penari dengan ragam gerak gagah yang dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Empat penari jajar dengan gerak tari ragam bapang.
(2) Empat penari lurah dengan gerak tari ragam kalang kinantang.
(3) Empat penari ploncon ( pembawa lawung) dengan ragam gerak tari kalang kinantang.
(4) Dua penari botoh dengan ragam gerak kalang kinantang.
(5) Dua orang sebagai penari salaotho (pelayan/abdi/pembantu) memakai ragam gerak bebas atau tidak kaku, sebab gerakannya mengikuti gerakan penari botoh. Selama menari, botoh membawa tongkat pendek (teken) dan salaotho membawa ampilan yaitu kotak berisi uang taruhan.
Rias dan busana yang dipergunakan adalah rias dan tradisi Yogyakarta. Busana tersebut dapat dipakai untuk membedakan karakter dan tokoh-tokoh tarinya. Adapun busana yang dinekanan dalam Beksan Lawung ageng adalah sebagai berikut :
(1) Botoh mengenakan : songkok narendra memakai hiasan bludiran, sumping roni, kalung, sungsuh tiga, kelat bahu, celana cindhe, kain parang rusak barong, bara, sampur teken, dhuwung branggah, buntal, ditambah tongkat atau teken untuk memberi aba-aba kepada jajar atau lurah, ikat kepala songkok.
(2) Lurah mengenakan : tepen kodhok bineset pareanom, kalung tanggalan kelat bahu ngangrangan, kaweng cindhe, celana cindhe, kain parang gurdha, bara, kamus timang, dhuwung gayaman, sampur cindhe.
(3) Jajar memakai : tepen kodhok bineset warna biru tua, kawng, kalung tanggalan, kelat bahu, celana cindhe, kain kawung gurdha, bara, kamus timang, buntal, dhuwung gayaman, ditambah klinthing.
(4) Ploncon memakai : tepen kodhok, bineset warna coklat, celana panji-panji bermotif cindhe, kain parang rusak alit atau klithik dengan cara pakai supit urang, kaweng polos, bara, buntal, kalung tanggalan sondher.
(5) Salaotho memakai celana panjang polos warna putih dan baju dengan panjang polos, kain bermotif bangpangan, membawa sapu tangan disampirkan di pundak peti atau kotak kecil berisi uang.
Karakter yang menjiwai Beksan lawung ageng untuk jajar gerakannya ekspresif, dinamis dan penuh semangat, sedangkan karakter gerak untuk lurah tenang, yakin dan pasti. Botoh sebagai pimpinan harus dapat bersikap tegas dan berwibawa. Dalam Beksan Lawung ageng digunakan bahasa campuran Madura, Melayu, Bugis dan Makasar dan Jawa. Penggunaan bermacam-macam bahasa yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara kerajaan Mataram dengan kerajaan-kerajaan bawahan atau taklukan.
Beksan lawung ageng terdiri dari dua bagian yaitu bagian lawung jajar dengan menggunakan gendhing gangsangan dhawuh(masuk) gedhing ronong tawang dengan menggunakan rog-rog asem dan untuk perangan menggunakan gendhing gangsangan. Untuk maju mundurnya para penari dari pendapa sebagai arena pentas diiringi dengan lagon untuk menambah greged pertunjukan. Sedang keprak digunakan untuk aba-aba atau sebagai penanda tertentu bagi penari.
Lawung
Dialog yang digunakan merupakan campuran dari bahasa Madura, bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Beksan ini oleh Sri Sultan dijadikan Beksan ceremonial yang sangat terhormat, bahkan menjadi wakil pribadi dan Sri Sultan pada resepsi perkawinan agung pada hari pertama di Kepatihan dimana menurut istidadat Jawa. Sri Sultan tidak boleh menghadirinya. Beksan ini lengkapnya terdiri 40 orang penari dan dibagi dalam 3 beksan yaitu: Lawung Ageng untuk gagahan dengan 16 orang penari, beksan sekar medura dengan 8 penari gagah dan alus: ke 3 beksan ini apabila dipentaskan lengkap akan memakan waktu 5 jam dengan iringan gamelan khusus yaitu Kiai Guntur Sri dengan suaranya yang antep mengalun selama pagelaran ini berlangsung para penari disamping sisi kiri kanan gamelan dilarang istirahat
Tari pria bersenjatakan lawung (tombak) pada umumnya dibawakan oleh 16 orang penari putera,dan beksan putra ini termasuk dalam tari upacara. Dahulu biasa dipergelarkan untuk merayakan resepsi perkawinan putra-putri sultan di kepatihan . Beksan lawung dipakai sebagai wakil raja dalam upacara pernikahan tersebut. Karena suatu hal yang tabu serta menghilangkan kewibawaan raja apila raja sampai hadir di kepatihan yang tingkat derajatnya berada di bawah raja. Karena beksan lawung dianggap sebagai wakil raja, maka tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat.
Dalam perjalanan dari Kraton ke kepatihan para penari beksan lawung mengendarai kuda denag dipayungi sonsong gilap kebesaran dikawal oleh prajurit wirabraja dan diringi gamelan Kia Guntur Sari yang sepanjang jalan dibunyikan dengan melagukan gending –gendhing sabrangan. Beksa lawung secara lengkap terdiri dari 3 bagian yaitu (1)Beksa lawung alit (2) Beksa lawung ageng atau beksan lawung gagah atau beksa trunajaya( lihat Beksa Trunajaya), dan (3) Beksa Sekar Medura.
Beksa lawung diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I yang memerintah dari tahun 1755-1792. Beksa ini merupakan usaha dari Sultan untuk mengalihkan perhatian Belanda terhadap kegiatan prajurit Kraton Yogyakarta. Karena pada masa itu dalam suasana perang, sultan harus mengakui dan tunduk segala kekuasaan Belanda di Kasultanan Yogyakarta. Ia harus patuh pada segala perintah maupun peraturan yang telah ditentukan, termasuk olah keprajuritan. latihan keprajuritan dengan menggunakan senjata di larang oleh Belanda. Oleh karena itu sultan mengalihkan olah keprajuritan ke dalam bentuk beksan yaitu beksan lawung. Melalui beksa lawung ini sultan berusaha untuk membangkitkan sifat kepahlawanan prajurit Kraton pada masa perang tersebut.
Beksa lawung menunjukkan semangat dan keberanian melalui gerakan-gerakan tari. Oleh karena itu tema dalam Kraton khususnya Beksa Lawung kebanyakan bertema kepahlawanan. Beksa berisi sindiran-sindiran halus sebagai ungkapan rasa tidak senang sultan terhadap pembesar-pembesar Belanda di Kraton Yogyakarta. Selain itu, Beksa Lawung diangkat sebagai tari ritual wakil sultan dalam upacara perkawinan putra dan putrinya, bukan semata-mata sebagai wakil yang wadang tetapi juga wakil kawruh urip yang harus dicerna oleh kedua mempelai lewat keseluruhan pagelaran. Hakekat pesan ini secara transparan diutarakan lewat lewat lagon diawal pertunjukan Beksa Lawung sebagi petuah sultan tentang perkawinan yang diakhiri dengan simbol kesuburan . Dalam Beksa lawung disimbolkan dengan tongkat atau lawung, dan perempuan dilambangkan dengan tanah. Tanah sebagai bumi sering disebut ’ ibu pertiwi ’, lambang keperempuan.
Dalam latihan Beksa lawung diberikan kepada prajurit-prajurit peleton/ pasukan Trunajaya sehingga Beksa Lawung atau Beksa Trunajaya itu berubah menjadi Beksa lawung ageng dikarenakan hadir Beksa lawung alit dan Beksa Sekar Madura sebagai bvagian dari beksa lawung secara keseluruhan. Sebagai akibat orang seringkali menyebut Beksa lawung diidentikkan dengan Beksa lawung ageng.
Pada tahun 1918 berdiri perkumpulan Kridha Beksa Wirama, sehingga Beksa lawung boleh dipergelarkan dan diajarkan kepada orang lain di luar Kraton atas izin Sultan Hamengku Buwana VII. Sejak itulah kesenian istana, khususnya Beksa Lawung, makin banyak diminati dan maju pesat. Perkembangan selanjutnya Beksa Lawung dipentaskan untuk para wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga terjadi pemadatan waktu pentasnya.
Joyo Semedi
Ganda Werdaya
Lakon Gondowerdoyo atau Gandawardaya merupakan sebuah lakon carangan atau cerita cabang dari wiracarita mahabarata yang menggambarkan pertikaian antara dua saudara tiri, yaitu Gandawardaya dan Gandakusuma. Keduannya adalah putera Arjuna dari dua orang ibu yang berbeda. Ketika drama tari wayang wong dengan lakon Gandawardaya dipergelarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada sekitar tahun 1847 untuk memperingati berdirinya, Kraton Yogyakarta, pertunjukan itu adalah sebuah ritual kenegaraan.
Kanjeng Raden Tumenggung Jayadipura
Sudharso Pringgobroto
Sebagai seorang yang berdarah seni Sudharso mulai belajar menari pada tahun 1937 pada organisasi tari Jawa Kridha Beksa Wirama di bawah asuhan GBH Tedjokusumo. Disamping itu, juga belajar menari dan menabuh gamelan di Dalem Purwonegaran di bawah asuhan K.R.T. Purwonegara. Selain itu, ia belajar tari pada guru-guru antara lain : BPH. Suryodiningrat, K.R.T Soeryomurtjito dan Bapak Suyadi Hadisuwanto.
Sudharso duduk sebagai Formatur Dewan Ahli dalam perencanaan berdirinya organisasi Irama Tjitra dan sebagai pengajar ketika organisasi telah berdiri. Disamping itu, juga mengajar tari diperguruan Taman Siswa dan karya-karya tari yang telah diciptakan antara lain : Tari Sari Mawur ( putri), tari serimpi, tari sayungan, dan beksan Enjeran. Karya yang berbentuk bedayan antara lain: Bedaya Dewa Ruci ( 1951), Bedaya Revolusi dan Bedaya berdirinya Taman Siswa. Sedangkan yang berbentuk drama tari antara lain : Cerita Panji Djayalengkara (1952). Sendratari Gandakusuma, sendratari Guru gantangan, Sendra tari Gading Pawukir dan sebagainya. Kesemuanya itu diciptkan semasa berdirinya organisasi tari Irama Tjitra.
Raden Wedono Larassumbogo
Pada tahun 1904 oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII, RW. Larassumbogo diangkat menjadi Abdi Dalem Jajar Wiyogo . Tahun 1910 diangkat menjadi Bekel Enem. Tahun 1918 naik pangkat menjadi Bekel Sepuh oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada tahun 1923 R.B Larassumbaga diangkat menjadi lurah dengan nama gelar Raden Lurah Larassumbogo dan akhirnya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX diangkat menjadi wedono dengan nama dan gelar Raden Wedono Larassumbogo hingga meninggal dunia pada tanggal 10 Oktober 1958.
Ketika tahun 1917 di Yogyakarta berdiri perkumpulan ” Dwi Sawara”, R.W. Larassumbogo menjadi pemimpinnya. Selain Itu, ia pernah berkecimpung dalam perkumpulan karawitan seperti Doyo Pradonggo, Mudhoraras, Hadibudoyo, dan lain-lain. Keistimewaan R.W Larassumbogo selain menguasai setiap instrumen Jawa juga mahir memainkan gambang, bonang dan gender. Gendhing gendhing ciptaanya kurang lebih 35 macam diantaranya gending Ngeksi Gondo, Windu Haji, Teguh Jiwo, atau Tek Dhug. Disamping RW. Larassumbogo pernah membuat buku gendhing dan dikeluarkan oleh percetakan Kolf Jakarta.
Selasa, 07 April 2009
Sabtu, 04 April 2009
Rabu, 25 Maret 2009
Jumat, 20 Maret 2009
museumdewantarakirtigriyasebagaiodtwbudaya1
MUSEUM
DEWANTARA KIRTI GRIYA SEBAGAI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA
PENDAHULUAN
Pengembangan Pariwisata di DIY dilaksanakan dengan
pembagian Propinsi DIY menjadi lima Kawasan Pengembangan Pariwisata
(KPP). Untuk KPP Kota Yogyakarta arahan pengembangannya adalah Wisata
Budaya dan Wisata Minat Khusus. Hal ini sesuai dengan potensi Kota
Yogyakarta, yaitu:
5 dari 13 Kawasan Cagar Budaya di DIY berada di Kota
Yogyakarta
7 dari 8 tempat pertunjukan kesenian berada di Kota
Yogyakarta
16 dari 22 museum di DIY berada di Kota Yogyakarta
Museum
merupakan sebuah lembaga yang bersifat permanen, melayani kepentingan
masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan
mencari keuntungan yang mengumpulkan, memelihara, meneliti,
memamerkan, dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material
manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan
rekreasi (FFJ Schouten, PengantarDidaktik Museum,Jakarta,Proyek
Pembinaan Permuseuman, Ditjen Kebudayaaan, 1992: 3).
Kebijaksanaan
permuseuman sejak tahun 1997 dipegang oleh Dinas Kebudayaan Propinsi
DIY. Namun sebelumnya pada tahun 1971 telah berdiri Badan Musyawarah
Musea (Barahmus) DIY dan pada 28 Oktober 1998 berdiri Badan
Musyawarah Museum-Museum Indonesia (BMMI) yang telah menjadi anggota
Internasional Council of Museum (ICOM).
Museum sebagai
salah satu potensi budaya di DIY ternyata sering terabaikan oleh para
pelaku wisata dan pendapatan sektor museum menempati urutan kelima
dari tujuh sub sektor pariwisata.
PENDAPATAN
SUB SEKTOR PARIWISATA DI DIY
PADA
TAHUN 1994-1996
NO. | SEKTOR | 1994 | 1995 | 1996 |
1 | Pajak | 17% | 31,9% | 58,4% |
2 | Obyek | 17,1% | 17,2% | 17,6% |
3 | Bioskop | 41,7% | 32,6% | 14,1% |
4 | Pajak | 17,5% | 12,6% | 4,1% |
5 | Museum | 3,6% | 3,1% | 3,4% |
6 | Atraksi | 2,8% | 2,5% | 2,3% |
7 | Ijin | 0,3% | 0,3% | 0,1% |
Sumber: Bappeda Prop. DIY
Dengan mengetahui keadaan tersebut kami mengkaji keberadaan museum di
DIY dengan memilih Museum Dewantara Kirti Griya karena:
Museum Dewantara Kirti Griya setelah mengalami
rehabilitasi namun masih terlihat sepi.
Museum yang bernilai sejarah tinggi yang bisa dikatakan
mempunyai potensi menjadi Museum Nasional namun keberadaanya
terabaikan.
II
KEADAAN MUSEUM SAAT INI
Museum Dewantara
Kirty Griya terletak dalam kesatuan komplek Pendopo Agung Taman Siswa
di jalan Tamansiswa, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota
Yogyakarta. Pendopo tersebut oleh Majelis Luhur Tamansiswa dinyatakan
sebagai Monumen Persatuan Tamansiswa, menyatu dengan Museum Dewantara
Kirty Griya.
Bangunan museum adalah bekas kediaman Orang Belanda yang
ditempati Ki Hadjar Dewantara sekeluarga dari tahun 1938 sampai
dengan tahun 1958. Letak rumah memang menghadap ke barat namun
praktis sejak dihuni Ki Hadjar Dewantara, jalan masuk dari arah
selatan (samping) melalui halaman pendopo letak ruang tamu pun ada di
sisi bagian selatan, sehingga benar-benar terlihat dan terasa satunya
kediaman Ki Hadjar Dewantara dengan pendopo agung beserta komplek
kegiatan edukatif kultural yang dulu disebut Perguruan Tamansiswa
Mataram, kemudian beralih nama Ibu Pawiyatan Tamansiswa, yang
berarti induk atau Pusat Perguruan Taman Siswa yang dipimpin langsung
oleh Ki Hadjar Dewantara.
Pada dasarnya koleksi museum Dewantara Kirty Griya
terdiri atas :
Bangunan/rumah
dalam kompleks perguruan Tamansiswa Yogyakarta.
mempunyai luas bangunan 300 m², berdiri di atas tanah 2.720 m².
Bangunan dan tanah dicatat dalam buku Register Angka 1383/IH tahun
1926. Bangunan didirikan pada tahun 1915 dengan material kualitas
prima.
Kumpulan
surat menyurat Ki Hadjar Dewantara.
Hingga hari ini surat yang menjadi koleksi museum berjumlah 879 pucuk
surat. Berkat bantuan Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta,
kumpulan surat-surat telah dikonservasi dengan tehnik tinggi. Selain
itu telah dibuat mikro film dan disimpan di Arsip Nasional Jakarta;
sedangkan aslinya tetap menjadi koleksi museum Dewantara Kirty Griya.
Perlengkapan
rumah tangga.
Sebagian besar hasil dari pembelian sebidang tanah dan bangunan yang
berada dalam kompleks Tamansiswa jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta,
antara lain : tempat tidur, meja tulis, meja-kursi tamu, pesawat
telepon buatan Kellog 1927 Swedia, lemari buku, radio dan lemari.
Dokumentasi
foto.
Foto-foto diawali pada tahun 1904. Koleksi ini telah direproduksi
serta sebagian besar direkam dalam slide. Selain itu museum memiliki
satu unit film dengan judul Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Nasional.
Film ini di buat oleh PFN tahun 1960 dengan ukuran 33 mm dan lama
putar 80 menit. Berkat kemajuan teknologi film dipindah ke kaset
video, dan di hidangkan pada para pengunjung dalam ruangan khusus,
walaupun kondisinya tidak sempurna, namun masih dapat di dengar logat
dan warna nada pembicaraan beliau.
Pustaka
dalam berbagai tulisan dan bahasa.
Penempatan pustaka :
Di
museum Dewantara Krity Griya meliputi ketamansiswaan, politik,
kebudayaan dan pendidikan, yang berjumlah 2341 judul buku.
Di
perpustakaan museum meliputi Sastra Daerah Jawa (3560 judul), Melayu
(423 judul), Bahasa Belanda (3789 judul).
Museum Dewantara Krity Griya dilengkapi dengan perpustakaan museum.
Jam buka museum pada hari kerja mulai pukul 08.00-13.00 WIB. Hari
Jumat buka pukul 08.00-11.00 WIB dan hari sabtu pukul 08.00-12.00
WIB. Pada hari Minggu dan hari besar tutup. Tapi apabila ada
permintaan berkunjung secara tertulis beberapa hari sebelumnya diluar
jadwal tersebut dapat di layani.
Biaya untuk masuk museum bersifat sukarela, bantuan sukarela
digunakan untuk biaya pemeliharaan. Museum Dewantara Kirty Griya
dikelola oleh Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa, bidang
pendidikan dan kebudayaan Majelis Lulur Tamansiswa.
Adapun susunan pengurus Museum Dewantara Kirty Griya:
Pembina : 1. Ki Dr. Supriyoko, M.Pd (Ketua Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa)
2. Ki Nayono (Almarhum)
Ketua : Ki Nayono (Almarhum)
Panitera : Nyi Sri Muryani
III.
KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG dan TANTANGAN
KEKUATAN
Museum
Dewantara Kirty Griya mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan
merupakan museum sejarah lahirnya pendidikan yang bersifat nasional
di Indonesia.
Mempunyai cukup banyak potensi untuk dikembangkan dan
diusulkan menjadi salah satu dari museum nasional.
Museum terletak pada lokasi yang strategis dan mudah
dijangkau
Mempunyai peralatan multimedia (VCD, Slide Proyektor,
Video) untuk menampilkan film tentang Ki Hadjar Dewantara
Keberadaan perpustakaan yang mendukung keberadaan
museum
Koleksi museum yang begitu lengkap
Kebijaksanan
pemerintah di bidang pariwisata dan pendidikan –Wajib
kunjung museum bagi pelajar dan mahasiswa-.
Potensi atraksi pendukung berupa latihan tari dan
pameran di Pendopo Agung Taman Siswa yang sudah teratur
B.
KELEMAHAN
Luas area yang sangat sempit bagi pengembangan museum
Keterbatasan ruang untuk menampilpajangkan seluruh
koleksi museum
Kerusakan koleksi museum yang tersimpan di gudang
akibat keterbatasan ruang
Standart operating procedure pemanduan belum ada
Sarana museum sebagai obyek dan daya tarik wisata
budaya masih kurang; antara lain: tiket box, wahana interpretasi
bagi wisatawan
Perlindungan benda koleksi terhadap manusia dan alam
masih kurang
Keterbatasan
dana pengembangan dan
pengelolaan museum
Perawatan koleksi masih manual dan sederhana
Kualitas SDM yakni petugas museum masih kurang
Jumlah/kuantitas petugas masih kurang saat musim
liburan
C. PELUANG
Pasar
sasaran potensial yaitu siswa Perguruan Taman Siswa yang berkunjung
setiap hari libur
b. Pendopo Agung Tamansiswa yang layak dijadikan gedung pertemuan
umum sekaligus mengajak mereka mengunjungi museum.
D. ANCAMAN
Obyek wisata lain yang sejenis dan lebih berkembang
serta menarik
Apresiasi
pengunjung terhadap museum dan
koleksinya yang masih kurang, misal memegang-megang benda koleksi,
membolak-balik buku koleksi.
IV.
PROGRAM PENGEMBANGAN
Mencari sumber dana dengan
mengadakan tiket box bagi pengunjung ataupun bekerjasama dengan
berbagai LSM dan memanfaatkan Pendopo Agung Tamansiswa
sebagai Gedung Pertemuan umum.
Menjadi anggota/bekerjasama dengan museum lain dalam organisasi
daerah, nasional maupun internasional.
Pengiriman petugas pada berbagai pembinaan permuseuman.
Penambahan tenaga saat libur sekolah dengan menerima siswa PKL.
Pembuatan Wahana Interpretasi bagi pengunjung
Penambahan ruang audio visual dengan dilengkapi semacam café
(museum café) dan didukung keberadaan perpustakaan
Pembuatan perangkat perlindungan koleksi.
Aktif dalam berbagai pameran.
Pengadaan cindera mata khas sebagai pelestari kesan.
10. Mengadakan kegiatan yang aspek
demonstratifnya tinggi dengan melibatkan pasar sasaran yang
dituju-lomba lukis dengan tema-tema tertentu-.
halaman 1
dari 14